Kisah Tanpa Judul ( full touched story )
Oleh Ulun Pang
( Setelah membaca kisah ini, pikirkan lagi....apa yg telah kita lakukan pada 'mereka' ? )
=========================================================================
Seorang perempuan renta memilih tinggal bersama anak bungsunya yang telah menikah. Semua anaknya yang lain telah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Perempuan itu merasa bahagia dapat tinggal bersama anaknya, apalagi ditambah kehadiran cucunya yang baru berusia enam tahun. Celotehan dari mulut mugilnya menghapus kesepian dan kesendiriannya di masa tua.
Perempuan tua itu sudah sangat uzur. Lututnya sering gemetar tak kuat lagi menyangga beban tubuhnya sendiri. Tangannya pun sering bergetar saat memegang benda. Penglihatannya mulai rabun.
Sudah menjadi tradisi keluarga, setiap akhir minggu, seluruh anggota keluarga berkumpul untuk makan malam bersama. Di ruang makan yang cukup luas, berkumpul seluruh anak-anak perempuan tua itu membawa serta keluarganya.
Mereka sengaja datang dari luar kota untuk merayakan tradisi keluarga yang sudah sejak dulu dilakukan. Saat seperti inilah yang sangat dinanti sang perempuan tua itu.
Saat yang paling membahagiakan si perempuan tua, justru menjadi saat tak menyenangkan bagi anak-anaknya.
Pada saat makan malam seperti inilah, terkadang perempuan tua yang sudah pikun itu sering membuat kacau acara. Tangannya yang lemah dan gemetar serta penglihatan yang mulai rabun, membuatnya sulit untuk memilih serta menyantap makanan.
Tak jarang, sendok dan garpu jatuh ke lantai, sayur sup tumpah membasahi taplak meja, karena ia tak mampu lagi menyangga mangkuk sup. Saat ia meraih gelas untuk minum, gelas itu malah jatuh ke lantai lalu pecah berantakan.
Semua anak dan menantunya menjadi jengkel dan gusar dengan tingkah perempuan tua itu. Mereka merasa sangat direpotkan dengan semua kejadian itu.
Si sulung lalu berkata, "kita harus melakukan sesuatu. Aku sudah muak dan bosan melihat kejadian seperti ini terus menerus, sehingga kita tidak bisa menikmati makanan yang kita santap."
Lalu, mereka berembug dan akhirnya sepakat untuk membuatkan sebuah meja kecil untuk ibu mereka. Meja kecil itu ditempatkan di salah satu sudut ruang makan, terpisah dari meja makan utama. Di kursi serta meja itulah, perempuan tua itu akan duduk untuk menikmati makan malamnya, sendirian. Meja kecil itu juga dilengkapi dengan piring dan gelas kayu, agar tak pecah saat terjatuh.
Acara makan malam berikutnya berlangsung sukses.
Tak ada lagi kekacauan yang disebabkan oleh perempuan renta itu. Semua orang makan dengan lahap.
anak-anaknya menyantap makanan dengan lahap tanpa terganggu oleh ulah sang nenek. Agar nenek tua itu tidak memecahkan piring serta gelas, anak-anaknya membuatkan juga mangkuk serta gelas dari kayu.
Begitulah seterusnya, acara makan malam mereka tidak lagi terganggu sehingga mereka benar-benar menikmati kelezatan makanan yang mereka santap.
Di sudut ruangan, perempuan itu tetap berusaha menikmati makan malamnya, meski kali ini ia harus tersingkir dari anak-anaknya sendiri. Perempuan tua itu merasa sangat sedih. Air matanya mengalir melewati gurat keriput di pipinya saat ia menyuapkan nasi ke mulutnya yang tak lagi bergigi.
Sejak si nenek disingkirkan di sudut ruangan, cucunya yang biasa bermain dengannya merekam kejadian yang menimpa neneknya itu ke dalam otaknya. Setiap acara makan malam bersama, ia selalu melihat kesedihan di wajah tua neneknya.
Suatu malam, setelah acara makan malam bersama selesai, ia mengambil sepotong kayu dan meraut kedua ujungnya. Ayahnya yang melihat hal itu lalu bertanya, "Nak, kamu sedang membuat apa?"
"Oh, aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu, seperti halnya Ayah membuatkan untuk nenek. Kalau Ayah dan Ibu sudah tua seperti nenek, aku akan meletakkan meja ini di sudut ruang makan, persis seperti nenek," jawab anak itu sembari melanjutkan pekerjaannya.
Jawaban spontan itu membuat kedua orangtuanya terkejut dan sangat terpukul.
Mulut mereka terkatup rapat dan tidak mampu mengeluarkan satu kalimat pun. Mereka tidak menyangka bahwa anaknya yang baru berumur enam tahun, mampu berkata seperti itu.
Bersamaan dengan itu, airmata mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, mereka mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki.
Setelah kejadian malam itu, Si Bungsu selalu memapah ibunya ke meja makan untuk bersantap dan duduk berkumpul bersama dengan anak-anaknya. Tak ada lagi omelan yang keluar dari mulut mereka pada saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak meja ternoda. Mereka makan bersama lagi di meja utama. Dan anak kecil itu, kini tak lagi meraut untuk membuat meja kayu.
Ya, anak-anak adalah pencerminan dari diri kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan.
Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap bangunan jiwa yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak. Hidup ini seperti kita menyusun mozaik.
Mari, susunlah mozaik dan bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan kita, untuk semuanya. Sebab, untuk mereka lah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.
“Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar menjadi rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia belajar untuk menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan Ia belajar menjadi percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian Ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, Ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan cinta, kasih sayang dan persahabatan.
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.”
semoga kita bisa mengamalkannya Amin..............................
( Children Learn What They Live oleh: Dorothy Law Nolte )
Peran orang tua sangat penting dalam perjalanan hidup anak-anaknya, karena kita, seperti diistilahkan Khalil Gibran, adalah busur. Busur yang kokoh akan mampu melesatkan anak-anak panah dalam menapaki jalan masa depannya. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan esok harus lebih baik dari hari ini. Kita juga selalu berharap generasi yang akan datang harus lebih baik dari kita.
artikel terkait :
Semoga bermanfaat.