BBM Subsidi = ( sama dengan ) Subsidi Kesalahan
Entah dulu ataupun sekarang hal ini biasanya berlaku berulang-ulang di negara kita yang kaya raya dan tercinta ini, hal yang tak pernah membosankan untuk ikut dan disimak adalah mengenai berita tentang BBM , sebut saja BBM Subsidi .
dulu atau sekarang maupun nanti : baik di koran , koran online maupun di Tivi-tivi sama saja. subsidi BBM membengkak, begitu kata beritanya
Fenomena ini serupa arisan yg bergiliran setiap tahunnya. kita selalu dapat kesempatan untuk menanggung derita yg sama.
Tetapi apa sebetulnya yang terjadi dengan subsidi itu ?
Pengertian umum ialah, agar BBM tetap murah, agar kehidupan umum tak berat.
Lalu siapa yang disebut umum itu? Mari kita lihat satu persatu.
Kalau umum itu adalah anak-anak anggota geng motor yang beringas itu,
Sudah tentu subsidi ini salah arah.Sekarang ini banyak anak-anak sekolah bermotor dan bermobil, banyak di antara mereka adalah anak-anak SMP dan awal SMA.
Contoh satu : Saat saya mau keluar jalan dari tikungan depan gapura komplek , ....ngeengggg !! bocah seumuran SD lewat dengan motornya kecepatan kencang , tentu saja saya nge-rem sambil kaget bukan kepalang ! hasyemmm umpat kata ini dalam hati.
Contoh kedua lagi : Untuk tahun ini yg paling dekat adalah anak tetangga sebelah rumah saya yg masuk SMA dan umurnya baru 15an. menurut saya, jika teman-teman sekelasnya naik motor dan mobil jelas melanggar aturan karena secara hukum mereka belum boleh mengambil SIM.
Tapi lihatlah, tak cuma anak-anak SMA, anak-anak SMP pun telah demikian banyak meramaikan jalan raya. Jika mereka sasaran subsidi, jelas salah arah. Bagaimana mungkin pelanggar aturan disubsidi.
Kalau umum itu bernama pemilik mobil dan motor pribadi, ini lagi-lagi juga salah arah. Bagaimana mungkin pihak yang berdaya beli masih disubsidi. Itulah bisa jadi penyebab kenapa sekarang banyak orang berani punya mobil walau tak punya garasi.
Kini kalau pihak yang disebut umum itu misalnya pemilik motor yang bukan orang kaya karena motor itu hasil kredit. Sekilas, inilah pihak yang kepadanya subsidi memang sudah selayaknya. Tapi soal kelayakan ini mari kita teliti kembali.
Sekarang ini kriteria layak kredit benar-benar dibiarkan tanpa kriteria. Siapa saja sepertinya boleh mengambil kredit motor sepanjang anggup membayar uang muka. Jadi syarat kredit motor itu sangat sederhana: hanya uang muka. Syarat yang amat remeh untuk barang yang tak remeh.
Argumentasi ini menjadi jelas jika memakai analogi berikuti: bahwa motor sesungguhnya setara pistol. Di tangan orang yang salah ia menjadi alat yang berbahaya. Di tangan pihak yang ceroboh, ia bisa membunuh orang lain dan diri sendiri. Bukti untuk soal ini telah begitu nyata, tak perlu lagi dicari-cari.
Maka syarat untuk memiliki motor seyogianya harus seketat seorang yang hendak memiliki pistol. Pemiliknya harus pihak yang tepat, baik tepat ekonomi, tepat hukum maupun tepat budaya.
Baru tidak tepat secara ekonomi saja telah begitu mendatangkan aneka ironi.
Misalnya, pihak yang secara ekonomi baru layak naik sepeda tetapi sudah boleh naik motor, bayangkan derita di sebaliknya.
Belum lagi kalau ditambah tak tepat hukum. Tanpa SIM, tak paham rambu dan hanya tau ngebut itu enak. Makin sempurnalah kegaduhan kalau orang ini tak tepat secara budaya.
Motor adalah kebudayaan baru yang sering hanya diperkenalkan cara menaikinya tapi tidak etikanya dalam berkendara.
Maka logis jika vandalisme etika di jalan raya begitu tinggi.
Simpulannya ialah, layakkah subsidi diberikan kepada pengambil kredit yang dibebaskan dari kriteria ini? Tidak!
Maka kalau logika ini diterima, seluruh penerima subsidi diatas adalah pihak yang salah tapi sulit dipersalahkan.
Pihak yang membiarkan mereka salah itulah yang salah.
dulu atau sekarang maupun nanti : baik di koran , koran online maupun di Tivi-tivi sama saja. subsidi BBM membengkak, begitu kata beritanya
Fenomena ini serupa arisan yg bergiliran setiap tahunnya. kita selalu dapat kesempatan untuk menanggung derita yg sama.
Tetapi apa sebetulnya yang terjadi dengan subsidi itu ?
Pengertian umum ialah, agar BBM tetap murah, agar kehidupan umum tak berat.
Lalu siapa yang disebut umum itu? Mari kita lihat satu persatu.
Kalau umum itu adalah anak-anak anggota geng motor yang beringas itu,
Sudah tentu subsidi ini salah arah.Sekarang ini banyak anak-anak sekolah bermotor dan bermobil, banyak di antara mereka adalah anak-anak SMP dan awal SMA.
Contoh satu : Saat saya mau keluar jalan dari tikungan depan gapura komplek , ....ngeengggg !! bocah seumuran SD lewat dengan motornya kecepatan kencang , tentu saja saya nge-rem sambil kaget bukan kepalang ! hasyemmm umpat kata ini dalam hati.
Contoh kedua lagi : Untuk tahun ini yg paling dekat adalah anak tetangga sebelah rumah saya yg masuk SMA dan umurnya baru 15an. menurut saya, jika teman-teman sekelasnya naik motor dan mobil jelas melanggar aturan karena secara hukum mereka belum boleh mengambil SIM.
Tapi lihatlah, tak cuma anak-anak SMA, anak-anak SMP pun telah demikian banyak meramaikan jalan raya. Jika mereka sasaran subsidi, jelas salah arah. Bagaimana mungkin pelanggar aturan disubsidi.
Kalau umum itu bernama pemilik mobil dan motor pribadi, ini lagi-lagi juga salah arah. Bagaimana mungkin pihak yang berdaya beli masih disubsidi. Itulah bisa jadi penyebab kenapa sekarang banyak orang berani punya mobil walau tak punya garasi.
Kini kalau pihak yang disebut umum itu misalnya pemilik motor yang bukan orang kaya karena motor itu hasil kredit. Sekilas, inilah pihak yang kepadanya subsidi memang sudah selayaknya. Tapi soal kelayakan ini mari kita teliti kembali.
Sekarang ini kriteria layak kredit benar-benar dibiarkan tanpa kriteria. Siapa saja sepertinya boleh mengambil kredit motor sepanjang anggup membayar uang muka. Jadi syarat kredit motor itu sangat sederhana: hanya uang muka. Syarat yang amat remeh untuk barang yang tak remeh.
Argumentasi ini menjadi jelas jika memakai analogi berikuti: bahwa motor sesungguhnya setara pistol. Di tangan orang yang salah ia menjadi alat yang berbahaya. Di tangan pihak yang ceroboh, ia bisa membunuh orang lain dan diri sendiri. Bukti untuk soal ini telah begitu nyata, tak perlu lagi dicari-cari.
Maka syarat untuk memiliki motor seyogianya harus seketat seorang yang hendak memiliki pistol. Pemiliknya harus pihak yang tepat, baik tepat ekonomi, tepat hukum maupun tepat budaya.
Baru tidak tepat secara ekonomi saja telah begitu mendatangkan aneka ironi.
Misalnya, pihak yang secara ekonomi baru layak naik sepeda tetapi sudah boleh naik motor, bayangkan derita di sebaliknya.
Belum lagi kalau ditambah tak tepat hukum. Tanpa SIM, tak paham rambu dan hanya tau ngebut itu enak. Makin sempurnalah kegaduhan kalau orang ini tak tepat secara budaya.
Motor adalah kebudayaan baru yang sering hanya diperkenalkan cara menaikinya tapi tidak etikanya dalam berkendara.
Maka logis jika vandalisme etika di jalan raya begitu tinggi.
Simpulannya ialah, layakkah subsidi diberikan kepada pengambil kredit yang dibebaskan dari kriteria ini? Tidak!
Maka kalau logika ini diterima, seluruh penerima subsidi diatas adalah pihak yang salah tapi sulit dipersalahkan.
Pihak yang membiarkan mereka salah itulah yang salah.
ini masih berupa analisa warungan dan obrolan masyarakat awam dari sudut pandang yg berbeda beda , akan makin ramai lagi kalo kita bahas dari semua aspek lainnya.
Beginilah luar biasanya Pemerintah kita dari dulu.